Dulu, Singapura pernah direpotkan oleh ikan todak. Ikan bermoncong panjang dan tajam itu suka menyerang penduduk. Tak terhitung berapa banyak penduduk yang luka-luka dan mati akibat serangan ikan ganas itu.
Raja kemudian memerintahkan penglima perangnya untuk menaklukkan ikan-ikan jahat itu. Maka, dipersiapkanlah sepasukan prajurit untuk membunuh ikan itu. Akan tetapi, hampir semua prajurit itu mati di moncong Todak. Raja bingung bagaimana menundukkan ikan itu.
Di tengah kebingungannya, Raja didatangi seorang anak kecil.
“Mohon ampun, Paduka yang Mulia, bolehkah hamba mengatakan sesuatu tentang ikan-ikan itu?”
“Katakanlah!”
“Ikan-ikan itu hanya bisa ditaklukkan dengan pagar pohon pisang.”
“Apa maksudmu?”
Yang dimaksud anak kecil itu adalah pagar yang terbuat dari batang pohon pisang. Pohon-pohon itu ditebang, dijajarkan, kemudian direkatkan dengan cara ditusuk dengan bambo antara yang satu dan lainnya hingga menyerupai pagar. Pagar itu kemudian ditaruh di pinggir pantai, tempat ikan-ikan itu biasa menyerang penduduk.
Raja kemudian memerintahkan Panglima untuk membuat apa yang dilkatakan anak kecil itu. Diam-diam Panglima mengakui kepintaran si anak. Diam-diam pula dia membenci anak kecil itu. Gagasan si anak membuat Panglima merasa bodoh di hadapan Raja.
“Seharusnya akulah yang mempunyai gagasan itu. Bukankah aku panglima perang tertinggi? Masak aku kalah oleh anaka kecil,” katanya dalam hati.
Keesokan harinya, selesailah pagar pohon pisang itu. Pagar itu lalu ditaruh di tepi pantai sebagaimana yang dikatakana si anak kecil.
Ternyata benar. Ikan-ikan yang menyerang pagar pohon pisang itu tak bisa menarik kembali moncongnya. Mereka mengelepar-gelepar sekuat tenaga, tetapi sia-sia. Moncong mereka yang panjang dan tajam itu menancap kuat dan dalam pada batang pohon pisang yang lunak itu. Akhirnya, dengan mudah penduduk dapat membunuh ikan-ikan jahat itu.
Si anak pun diberi hadiah oleh Raja.
“Terima kasih. Kau sungguh-sungguh anak yang pintar,” puji Raja.
Orang-orang bersuka cita.
Akan tetapi, panglima perang yang iri dan kesal karena merasa tampak bodoh di hadapan Raja itu menghasut Raja.
“Baginda, anak kecil yang cerdas itu tampaknya bisa menjadi ancaman jika dia besar nanti.”
“Maksudmu?”
“Siapa tahu, setelah besar nanti, dengan kepintarannya dia berhasrat merebut tahta Paduka.”
Raja terhasut. Ia lalu memerintahkan Sang Panglima untuk menyingkirkan anak itu.
Sang Panglima mendatangi rumah anak kecil itu dan dengan licik membunuh anak tak berdosa itu. Anehnya, darah si anak mengalir deras dan membasahi seluruh tanah bukit tempat anak itu tinggal. Seluruh bukit menjadi merah. Orang-orang lalu menyebut tempat itu Bukit Merah.